Sanitasi&sanitizer

ANITASI DAN SANITIZER DALAM INDUSTRI PANGAN
A. ILMU SANITASI
Manusia selalu berusaha mengubah lingkungannya dengan cara-cara tertentu agar
menghasilkan kondisi yang paling menguntungkan baginya. Salah satunya berusaha
menghasilkan kondisi yang saniter bagi lingkungannya. Usaha-usaha ini dihimpun
manusia dan dijadikan ilmu sanitasi (sanitary science).
Ehlers dan Steele (1958) mendefinisikan sanitasi sebagai pencegahan penyakit
dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan
dalam rantai perpindahan penyakit tersebut.
Secara luas ilmu sanitasi adalah penerapan dari prinsip-prinsip tersebut yang akan
membantu dalam memperbaiki, mempertahankan atau mengembalikan kesehatan yang
baik pada manusia. Untuk mempraktekkan ilmu ini, maka seseorang harus mengubah
segala sesuatu dalam lingkungan yang dapat secara langsung atau tidak langsung
membahayakan terhadap kehidupan manusia. Dalam arti luas, juga mencakup kesehatan
masyarakat (taman, gedung-gedung umum, sekolah , restoran dan lingkungan lainnya).
Sanitasi akan membantu melestarikan hubungan ekologik yang seimbang.
Sanitasi pangan merupakan hal terpenting dari semua ilmu sanitasi karena sedemikian
banyak lingkungan kita yang baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan
dengan suplai makanan manusia. Hal ini sudah disadari sejak awal sejarah kehidupan
manusia dimana usaha-usaha pengawetan makanan telah dilakukan seperti penggaraman,
pengasinan, dan lain-lain.
Sanitasi pangan berhubungan erat dengan sanitasi obat-obatan dan kosmetik, karena
penggunaan ketiga komoditi tersebut yang memerlukan kontak baik secara internal
maupun eksternal dengan tubuh manusia. Demikian pula halnya sanitasi pangan tidak
dapat dipisahkan dengan sanitasi lingkungan dimana produk makanan disimpan,
ditangani, diproduksi atau dipersiapkan, dan dari praktek saniter serta higiene personalia
yang harus menangani makanan.
Dalam industri pangan, sanitasi meliputi kegiatan-kegiatan secara aseptik dalam
persiapan, pengolahan dan pengkemasan produk makanan; pembersihan dan sanitasi
pabrik serta ingkungan pabrik dan kesehatan pekerja. Kegiatan yang berhubungan dengan
1produk makanan meliputi pengawasan mutu bahan mentah, penyimpanan bahan mentah,
perlengkapan suplai air yang baik, pencegahan kontaminasi makanan pada semua tahap-
tahap selama pengolahan dari peralatan personalia, dan terhadap hama, serta
pengkemasan dan penggudangan produk akhir.
B. PRINSIP SANITASI
Program sanitasi dijalankan sama sekali bukan untuk mengatasi masalah kotornya
lingkungan atau kotornya pemrosesan bahan, tetapi untuk menghilangkan kontaminan
dari makanan dan mesin pengolahan makanan serta mencegah terjadinya kontaminasi
kembali.
Kontaminasi yang mungkin timbul berasal dari pestisida, bahan kimia, insekta, tikus
dan partikel-partikel benda asing seperti kayu, metal, pecahan gelas dll, tetapi yang
terpenting dari semuanya adalah kontaminasi mikroba. Keberhasilan suatu proses
sterilisasi panas tergantung dari jumlah awal mikroorganisme dalam produk pangan pada
saat proses pemanasan (sterilisasi ataupun pasteurisasi) tersebut dimulai, semakin kecil
semakin baik.
Kunci untuk mengontrol pertumbuhan mikroba pada produk makanan dan di pabrik
pengolahan makanan adalah program higiene dan sanitasi yang efektif. Yang
dimaksudkan dengan program sanitasi bukanlah semata-mata merupakan pemakaian
desinfektan saja tetapai lebih dari itu.
Derajat efektifitas suatu sanitasi pabrik secara langsung mempunyai dampak pada
kualitas produk akhir.
Sanitasi mempunyai dua prinsip, yaitu
1. Membersihkan
Menghilangkan mikroba yang berasal dari sisa makanan dan tanah yang mungkin
dapat menjadi media yang baik bagi pertumbuhan mikroba.
2. Sanitasi
Menggunakan zat kimia dan atau metode fisika untuk menghilangkan
sebagaimana besar mikroorganisme yang tertinggal pada permukaan alat dan mesin
pengolah makanan.
2C. SUMBER KONTAMINASI
Bahan baku mentah
Diperkirakan proses pembersihan dan pencucian untuk menghilangkan tanah dan
untuk mengurangi jumlah mikroba pada bahan mentah. Penghilangan tanah dianggap
amat penting karena tanah mengandung mikroba khususnya dalam bentuk spora.
Peralatan/mesin yang berkontak langsung dengan makanan
Alat ini harus dibersihkan secara berkala dan efektif dengan interval waktu yang
agak sering guna menghilangkan sisa makanan dan tanah yang memungkinkan untuk
pertumbuhan kuman.
Peralatan untuk sterilisasi panas
Harus diusahakan dipelihara agar berada di atas suhu 75-76°C agar bakteri terfilik
tidak hidup.
Air untuk pengolahan makanan
Air yang digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan air minum.
Air Pendingin Kaleng
Harus mengandung desinfektan dalam dosis yang cukup. Peralatan/mesin yang
menangani produk akhir (post process handling equipment). Harus dalam keadaan kering
dan bersih untuk menjaga agar tidak terjadi rekontaminasi.
GMP mempersyaratkan agar dilakukan pembersihan dan sanitasi dengan
frekuensi yang memadai terhadap seluruh permukaan mesin pengolahan makanan baik
yang berkontak langsung dengan makanan, maupun yang tidak. Mikroba membutuhkan
air untuk pertumbuhannya, inilah sebabnya mengapa persyaratan GMP mengharuskan
setiap permukaan yang bersinggungan dengan makanan dan berada dalam kondisi basah
harus dikeringkan dan disanitasi.
Proses pembersihan akan menghilangkan sisa makanan, lapisan kotoran dan tanah
yang bisa menjadi sumber pertumbuhan mikroba, sesudah itu pemberian desinfektans
akan mampu membunuh mikroba pada permukaan alat/mesin.
3 Pada hakekatnya setiap pabrik harus mempunyai pola praktek higiene dan
sanitasi yang diikuti dengan seksama. Konsentrasi dari desinfektan yang dipakai harus
selalu diawasi dan disesuaikan dengan petunjuk dari pabrik maupun agen pembuatan
desinfektan.
D. TAHAP-TAHAP HIGIENE DAN SANITASI
Prosedur untuk melaksanakan higiene dan sanitasi harus disesuaikan dengan jenis
dan tipe mesin/alat pengolah makanan. Standard yang digunakan adalah:
1. “Pre rinse” atau langkah awal yaitu: menghilangkan tanah dan sisa makanan
dengan mengerok, membilas dengan air, menyedot kotoran dan sebagainya.
2. Pembersihan: menghilangkan tanah dengan cara mekanis atau mencuci dengan
lebih efektif.
3. Pembilasan: membilas tanah dengan pembersih seperti sabun/deterjen dari
permukaan.
4. Pengecekan visual: memastikan dengan indera mata bahwa permukaan alat-alat
bersih.
5. Penggunaan desinfektan: untuk membunuh mikroba.
6. Pembersihan akhir: bila diperlukan untuk membilas cairan desinfektan yang padat.
7. “Drain dry” atau pembilasan kering: desinfektan atau final rinse dikeringkan dari
alat-alat tanpa diseka/dilap. Cegah jangan sampai terjadi genangan air karena
genangan air merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan kuman.
Pemilihan zat kimia untuk higiene dan sanitasi; beserta kadarnya ditentukan dan
disesuaikan dengan perkiraan tingginya derajat pengotoran oleh sisa makanan pada
permukaan alat dan mesin pengolahan.
Tabel 1. Jenis pengotoran makanan dan pembersih yang dianjurkan.
Jenis Pengotoran Makanan Pembersih yang dianjurkan
Karbohidrat:
Adonan tepung, pasta, kentang, sayuran Deterjen basa lemah
Lemak:
Mentega, minyak, frosting, lemak binatang, mentega
kacang Deterjen basa lemah
Protein tinggi:
keju, kasein, ikan, daging poultry Chlorinated alkaline detergent
Mineral:
bayam, air keras, dairy products Acid detergent
4Tujuan utama penggunaan sanitaiser (desinfektan) adalah untuk mereduksi
jumlah mikroba patogen dan perusak di dalam pengolahan pangan dan pada fasilitas dan
perlengkapan persiapan makanan. Pengawasan terhadap mikroorganisme ini penting
untuk menjamin suatu produk yang aman dan utuh dengan masa simpan yang cukup.
E. Sumber-Sumber Sanitasi
1. Uap
Uap untuk tujuan sanitasi dapat diterapkan dengan menggunakan uap
mengalir pada suhu 170°F (76.7°C) selama 15 menit atau 200°F (93.3°C) selama
5 menit. Sanitasi dengan uap tidak efektif dan mahal. Penggunaan uap ini untuk
permukaan yang terkontaminasi berat dapat menyebabkan terbentuknya gumpalan
yang keras pada residu bahan organik dan menghambat penetrasi panas yang
mematikan mikroba.
2. Air Panas
Peredaman alat-alat kecil (pisau, bagian-bagian kecil, perangkat makan,
dan wadah-wadah kecil) dalam air yang dipanaskan hingga 80°C atau lebih tinggi
merupakan cara lain untuk sterilisasi panas. Efek yang mematikan oleh panas ini
diduga disebabkan karena denaturasi beberapa molekul protein di dalam sel. Akan
tetapi penuangan air panaske dalam wadah bukan merupakan metode sterilisasi
yang dapat diandalkan, karena dengan cara ini suhu tinggi tiak dapat
dipertahankan untuk menjamin sterilisasi yang cukup. Air panas dapat merupakan
cara yang efektif, nonselektif untuk permukaan yang akan bersentuhan dengan
makanan. Akan tetapi spora-spora mikroba dapat tetap hidup selama lebih dari 1
jam pada suhu air mendidih. Cara sterilisasi sering digunakan untuk plate heat
exchanger dan peralatan makan yang digunakan dalam fasilitas pelayanan
makanan (food service). Udara panas juga dapat digunakan untuk sanitasi dengan
suhu 82.2°C selama 20 menit.
Suhu air yang digunakan akan menentukan waktu kontak yang
dibutuhkan untuk menjamin sterilisasi. Salah satu contoh hubungan suhu – waktu
5adalah kombinasi yang diterapkan oleh berbagai pabrik yang menggunakan waktu
15 menit pada suhu 85°C atau 20 menit pada suhu 80°C. Bila waktu dikurangi
lebih lanjut, dibutuhkan suhu yang lebih tinggi. Volume air dan kecepatan
alirannya akan mempengaruhi waktu yang dibutuhkan oleh setiap komponen
untuk mencapai suhu yang diinginkan. Bila kesadahan air melebihi 60 mg/l, akan
timbul karat pada permukaan yang disanitasi, apabila air tidak dilunakkan. Air
panas menguntungkan karena mudah tersedia dan tidak beracun. Sanitasi dapat
dilengkapi dengan pompa air atau peralatannya direndam dalam air.
3. Sanitasi Radiasi
Radiasi pada panjang gelombang 2500A dalam bentuk sinar ultra violet
atau katode energi tinggi atau sinar gama akan menghancurkan mikroorganisme.
Sinar ultra violet telah digunakan dalam bentuk lampu uap merkuri bertekanan
rendah untuk menghancurkan mikroorganisme di rumah sakit, di rumah dan untuk
aplikasi lain yang serupa. Akan tetapi cara ini mempunyai kelemahan dalam
pemanfaatannya untuk pabrik makanan dan fasilitas pelayanan makanan, adalah
hal total efektifitas. Kisaran mematikan mikroorganisme yang efektif dari sinar
ultra violet ini pendek, sehingga membatasi penggunaanya dalam pengolahan
pangan. Waktu kontak yang digunakan harus lebih dari 2 menit dan hanya mapu
menghancurkan mikroba yang terkena sinar langsung. Aplikasi utama dari cara
sterilisasi ini adalah di bidang pengkemasan.
4. Sanitasi Kimia
Berbagai sanitaiser kimia tersedia untuk digunakan dalam pengolahan dan
pelayanan makanan. Sanitaiser kimia bervariasi dalam komposisi kimia dan
aktifitas, tergantung pada kondisi. Pada umumnya, makin pekat suatu sanitaiser,
kerjanya makin efektif dan makin cepat. Untuk memilih sanitaiser yang paling
sesuai untuk suatu aplikasi yang spesifik, maka perlu dimengerti sifat-sifat dari
suatu sanitaiser kimia. Oleh karena sanitaiser kimia tidak mampu berpenetrasi,
maka mikroorganisme yang terdapat dalam retakan-retakan, celah-celah, lubang-
lubang, dan dalam cemaran mineral tidak dapat dihancurkan seluruhannya. Agar
6sanitaiser yang dicampurkan dengan bahan pembersih bekerja secara efektif, suhu
larutan pembersih harus 55°C atau lebih rendah dan cemaran yang ada hanya
ringan. Efektifitas suatu sanitaiser kimia dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik dan
kimia seperti yang dijelaskan berikut ini :
a. Waktu kontak
Telah diketahui dari penelitian terdahulu bahwa kematian populasi
mikroorganime mengikuti suatu pola logaritmik, menunjukkan bahwa bila 90
persen dari populasi dibunuh dalam satu satuan waktu berikutnya,
meninggalkan hanya 1 persen dari jumlah awal. Populasi mikroba dan
populasi sel mempunyai kepekaan yang bervariasi terhadap sanitaiser, yang
disebebkan oleh umur sel, pembentukan spora, faktor-faktor fisiologis lain
yang menentukan waktu yang dibutuhkan untuk sanitaiser agar efektif.
Waktu kontak minimum 2 menit untuk peralatan dan perlengkapan,
kemudian ada waktu selang 1 menit setelah kontak tersebut, sebelum alat
digunakan.
b. Suhu
Laju pertumbuhan mikroflora dan laju kematian disebabkan oleh bahan
kimia akan meningkat dengan naiknya suhu. Akan tetapi suhu yang lebih
tinggi, umumnya akan menurunkan tegangan permukaan, meningkatkan pH,
menurunkan viskositas, dan menimbulkan perubahan-perubahan lain yang
dapat memperkuat daya bakterisidalnya. Pada umumnya kecepatan sanitasi
akan sangat melebihi laju pertumbuhan bakteri, sehingga efek terakhir dari
peningkatan suhu adalah untuk meningkatkan kecepatan destruksi bakteri.
Suhu optimum praktis untuk sanitasi adalah 70 – 100°F (21.1 – 37.8°C).
Kenaikan suhu 18°C umumnya akan mengubah efektifitas dua kali lipat.
Yodium bersifat mudah menguap dan hilang dengan cepat pada suhu di atas
120°F (48.9°C) atau khlorin menjadi sangat korosif pada suhu lebih dari
120°F. Beberapa sanitaiser tidak efektif pada suhu 40°F (4.4°C) atau di
bawahnya.
7c. Konsentrasi
Peningkatan konsentrasi sanitaiser akan meningkatkan kecepatan
destruksi bakteri. Rekomendasi perusahaan umumnya adalah 50 persen
margin of safety. Larutan sanitaiser harus diperiksa secara rutin dan diganti
bila menjadi terlalu lemah dan biasanya disediakan “test kits” oleh
perusahaan. Untuk beberapa sanitaiser warna dan bau dari larutan dapat
merupakan indikasi kekuatan.
d. pH
Merupakan faktor kunci dalam efisiensi sanitaiser. Perubahan pH yang
kecil saja sudah dapat mengubah aktifitas antimikroba dari sanitaiser.
Senyawa-senyawa khlorin dan yodium umumnya menurunkan efektifitasnya
dengan kenaikan pH. Khlorin akan kehilangan efektifitas dengan cepat pada
pH lebih dari 10, sedangkan yodiumpd pH lebih dari 5.0. Pada umumnya
makin tinggi pH, sanitaiser makin kurang efektif, kecuali quat (quaternary
ammonium compounds) paling efektif pada pH agak basa (pH 7 – 9).
e. Kebersihan alat
Alat harus benar-benar bersih agar diperoleh kontak yang baik antara
sanitaiser dengan permukaan alat. Di samping itu senyawa hipoklorit,
senyawa khlorin lain, senyawa yodium, dan sanitaiser lain dapat bereaksi
dengan bahan organik dari cemaran yang belum dihilangkan dari peralatan
dan menurunkan efektifitasnya.
f. Kesadahan air
Bila air terlalu sadah (lebih dari 200 ppm kalsium), jangan menggunakan
senyawa quat kecuali bila digunakan juga senyawa sequestering atau
chelating. Pencampuran senyawa quat mampu mengimbangi kesadahan
hingga 500 ppm. Bila tidak ada senyawa sequestering, air sadah akan
membentuk lapisan pada permukaan alat. Sanitaiser dengan efektifitas
optimum pada pH rendah (2 – 3) seperti iodophores, juga kurang efektif pada
8air sadah karena pH air akan naik. Efektifitas bakterisidal dari hipoklorit tidak
dipengaruhi oleh air sadah, tetapi dalam air yang sangat sadah (500 ppm)
dapat terbentuk endapan.
g. Incompatible agents
Kontaminasi khlorin atau yodium dengan deterjen alkali akan
menurunkan efektifitas dengan cepat, karena pH akan naik. Kontaminasi
senyawa quat dengan senyawa-senyawa asam (misal deterjen anionik dan
beberapa fosfat), menyebabkan quat tidak efektif.
F. SIFAT-SIFAT SANITIZER
Sanitaiser yang ideal harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
1. Sifat-sifat destruksi mikroba
Sanitaiser yang efektif harus :
a. Mempunyai aktifitas yang seragam, spektrum luas terhadap sel-sel vegetatif
dari bakteri, kapang dan kamir.
b. Menghasilkan kematian yang cepat
2. Ketahanan terhadap lingkungan
Suatu sanitaiser yang ideal harus efektif dengan adanya :
a. Bahan organik (beban cemaran)
b. Residu deterjen dan sabun
c. Kesadahan air dan pH
3. Sifat-sifat membersihkan yang baik
4. Tidak beracun dan tidak menyebabkan iritasi
5. Larut dalam air dengan berbagai perbandingan
6. Bau dapat diterima atau tidak berbau
7. Stabil dalam larutan pekat dan encer
8. Mudah digunakan
9. Banyak tersedia
10. Murah
11. Mudah diukur dalam larutan yang telah digunakan
9G. SANITASI KIMIAWI
Meskipun panas dan sinar UV sangat efektif untuk proses sanitasi, hingga kini
industri makanan masih sangat bergantung pada desinfektan kimiawi. Desinfektan
tersebut akan membasmi sebagian besar mikroba, meskipun tidak 100%. Yang penting
adalah karyawan wajib mempertimbangkan bahwa spora mikroba bisa bertahan terhadap
desinfektans. Jadi permukaan yang sudah diberi desinfektan adalah tidak seteril. Sesudah
sanitasi, jumlah mikroba berkurang banyak, tapi tidak steril, karena steril berarti tidak ada
mikroba.
Dalam peraturan GMP mempersyaratkan penggunaan zat kimia yang cukup
dalam dosis yang dianggap aman. Sangat penting untuk mengikuti petunjuk
penggunaannya dari pabrik pembuatnya. Efektifitas dari desinfektan tergantung pada
jenis dan konsentrasinya, lama kontak, suhu dan pH. Sangat tidak berguna untuk
melakukan desinfeksi suatu permukaan alat yang kotor, karena desinfektan menjadi tidak
efektif. Desinfektan yang lazim digunakan adalah klorin, jod dan amonium quarterner.
Desinfektan tersebut biasanya dilarutkan dalam air.
Sanitaiser kimia umumnya dikelompokkan berdasarkan senyawa kimia yang
mematikan mikroorganime yaitu (1) senyawa-senyawa pelepas khlorin, (2) quaternary
ammonium compounds, (3) iodophor dan (4) senyawa amfoterik.
1. Senyawa Khlorin
Jika digunakan secara tepat bahan ini paling cocok digunakan pada unit
pengolahan dan pengangkutan makanan. Dapat diperoleh dalam bentuk larutan
hipoklorit yang mengandung 100.00 – 120.000 mg klorin/liter atau dicampur dengan
detergen dalam bentuk kristal yang telah diklorinasi. Disinfektan ini bekerja cepat
terhadap sejumlah mikroorganisme dan harganya relatif murah. Sangat cocok
sebagai disinfektan umum di tempat usaha makanan. Harus digunakan pada
konsentrasi 100-250 mg klorin/liter. Golongan disinfektan ini bersifat korosif
terhadap bahan logam dan juga bersifat sebagai pemutih. Oleh karena itu,
pembilasan perlu segera dilakukan setelah cukup waktu kontak. Disinfektan klorin
kecuali klorin dioksida dayanya akan hilang apabila ada kotoran organik.
10Hipokhlorit adalah sanitaiser yang paling banyak digunakan dalam industri
makanan, tetapi ada sejumlah senyawa khlorin lain yang juga digunakan dalam
jumlah terbatas. Senyawa-senyawa tersebut di antaranya adalah Cl2 dan trisodium
fosfat terkhlorinasi, seperti juga khloramin organik, turunan asam isosianurik dan
diklorodimetilhidantoin.
Senyawa-senyawa khlorin yang brefungsi sebagai sanitaiser dapat
dikelompokkan menjadi (1) khlorin cair, (2) hipokhlorit, (3) khloramin anorganik,
dan (4) khloramin organik dan khlorin dioksida.
Pada umumnya sejumlah senyawa penghasil khlorin merupakan sanitaiser
yang paling kuat dengan aktivitas spektrum luas, bakteri gram positif dan gram
negatif sama-sama peka; di samping itu senyawa-senyawa ini memperlihatkan
aktivitas terhadap spora-spora bakteri. Banyak senyawa-senyawa penghasil khlorin
murah harganya; mudah digunakan dan tidak dipengaruhi oleh air sadah. Tetapi, pH
tinggi harus dijaga untuk mencegah korosi, dengan konsekuensi hilangnya sebagian
aktivitas bakterisidal. Kerugian utama dari senyawa-senyawa pelepas khlorin adalah
cepat inaktif oleh adanya bahan organik; di samping itu harus dibilas dengan baik
untuk mencegah korosi.
Aktifitas khlorin sebagai senyawa antimikroba belum ditetapkan. Diusulkan
bahwa asam hipokhlorit (HOCl), senyawa khlorin yang paling aktif mematikan sel
mikroba dengan cara penghambatan oksidasi glukosa oleh gugus sulfidril
pengoksidasi khlorin dari enzim-enzim tertentu yang penting dalam metabolisme
karbohidrat. Aldolase diduga merupakan bagian utama dari kerjanya mengingat sifat
esensial dalam metabolisme.
Cara kerja lain dari khlorin yang telah diusulkan adalah (a) gangguan sintesa
protein, (b) dekarboksilasi oksidatif dari asam-asam amino menjadi nitril dan
aldehid, (c) reaksi dengan asam nukleat, purin, pirimidin; (d) metabolisme tak
seimbang setekah destruksi enzim-enzim kunci., (e) induksi kerusakan
deoxyribonucleic acid (DNA) yang diikuti dengan hilangnya kemampuan fosofrilasi
oksidatif dengan kebocoran beberapa makromolekul, (g) pembentukan turunan N-
klor sitosin yang beracun, dan (h) menyebabkan penyimpangan kromosomal.
11Sel-sel vegetatif mengambil khlorin bebas tetapi tidak khlorin terikat.
Pembentukan khloramin dalam protoplasma sel tidak menyebabkan destruksi awal.
Penggunaan
32
P dengan adanya khlorin menunjukkan bahwa ada perubahan
permeabilitas yang bersifat destruktif dalam membran sel mikroba. Penelitian oleh
Camper dan McFeters (1979) menunjukkan bahwa khlorin mempengaruhi fungsi
membran sel, teryuatama transpor nutrien ekstraseluler, dan bahwa karbohidrat dan
asam amino berlabel tidak dapat diambil oleh sel-sel yang telah diberi perlakuan
dengan khlorin. Penelitian oleh Bernarde et al (1965) dengan menggunakan asam
amono berlabel
14
C, mengungkapkan bahwa khlorin dioksida merusak sintesa
protein dari Escherichia coli, walaupun tingkat kerusakannya tidak ditentukan.
Senyawa-senyawa pelepas khlorin diketahui merangsang germinasi spora dan
setelah itu menginaktifkan spora-spora bergerminasi tersebut. Penelitian yang
dilakukan oleh Kulikoosky et al (1975) menunjukkan bahwa khlorin mengubah
permeabilitas spora melalui perubahan-perubahan di dalam integumen, dengan
kemudian segera melepaskan Ca
2+
, dipicolinic acid (DPA), RNA dan DNA.
Sifat-sifat khlorin sedemikian rupa, di mana bila khlorin cair (Cl2) dan
hipoklorit dicampur dengan air, mereka akan terhidrolisa membentuk ion hidrogen
(H+
) dan ion hipoklorit (OCl

) sesuai dengan reaksi di bawah ini. Bila natrium
bergabung dengan hipoklorit untuk membentuk natrium hipoklorit, reaksi berikut ini
akan berlangsung.
Cl2 + H2O HOCl +H+
+ Cl

NaOCl + H2O NaOH + HOCl
HOCl H+
+ OCl

Senyawa-senyawa khlorin lebih efektif sebagai senyawa anti mikroba pada
pH yang lebih rendah di mana adanya asam hipoklorit lebih dominan. Bila pH naik,
ion hipoklorit, yang tidak efektif sebagai bakterisida, akan terdapat dalam jumlah
lebih banyak. Oleh karena itu molekul dalam bentuk utuh nampaknya merupakan
senyawa akif.
Senyawa-senyawa penghasil khlorin yang terdapat dalam bentuk bubuk
sering kali diduga lebih stabil daripada bentuk cairnya. Akan tetapi, bubuk akan
12menyerap air lebih cepat, sehingga menjadikannya tidak stabil, dan oleh karena itu
dubutuhkan desikan untuk menjaga stabilitasnya.
2. Hipoklorit
Hipoklorit adalah senyawa khlorin yang paling aktif, dan juga paling banyak

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Media

Jenis Kunci Stapel / Tumpukan Barang di Gudang

Cara penyimpanan bahan serealia